Sunday, 19 September 2010

Mata Sastra Tak Melirik Mata Uang

Binhad Nurrohmat
http://cetak.kompas.com/

Ada ungkapan dalam khazanah tradisi Jawa: sugih tanpa banda (kaya tanpa harta). Rasa ungkapan itu ”non-materialistik” dan kontradiktif sebab makna umum ”kaya” identik dengan ”harta”. Ungkapan bervisi etika itu bagi common-sense modern bisa dianggap cuma pelipur kemelaratan atau dalih ”romantisme kemiskinan”. Dalam konteks sejenis, ada ungkapan lain dalam khazanah tradisi kita yang dianggap ”realistik” bagi nalar modern lantaran bervisi pragmatis: kalau ada uang di pinggang, dunia sempit menjadi lapang.

Aristoteles dalam La Politica menilai, sejak ditemukan uang, manusia mengenal perniagaan eceran (ritel). Sebelumnya manusia memenuhi kebutuhan hidup melalui tukar-menukar barang (barter).

Ihwal uang semula sederhana dan menjadi rumit setelah manusia belajar kapan dan dengan apa pertukaran dengan uang dilakukan bisa meraup laba. Akibatnya, uang dianggap paling penting untuk meraih kekayaan. Sejak itu pula bersemi ”nafsu” mengakumulasi. Dalam pandangan etika Aristoteles: mencari kekayaan tak terbatas, tetapi punya batas.

Karl Marx dan Georg Simmel (keduanya hidup jauh setelah masa Aristoteles) merenungi ihwal uang juga. ”Uang adalah dewa,” kata Marx. Lewat uang, spiritualitas dan kultur digusur materialistik ekonomi dan politik. Bagi Simmel, uang adalah biang penyebar kuasa-modernitas.

Kesusastraan Indonesia juga sudah mengendus efek ”kuasa-uang”, contohnya petikan novel Telegram (1972) Putu Wijaya ini: ”Terhadap hal-hal yang pernah mereka terima sebagai sesuatu yang tidak perlu diperbincangkan, kini diusahakan agar tidak menyimpang dari prinsip-prinsip ekonomi” (…) ”Satu hari penuh aku membungkuk di belakang mesin ketik. Masih ada sisa sore sedikit tatkala aku menancapkan kalimat-kalimat terakhir. Sementara itu, tengah hari, waktu makan aku telah membicarakan pada Direksi soal libur dan pinjaman uang. Untung saja ia seorang yang bisa memaklumi. Inilah yang membuat tanganku cepat sekali menyelesaikan karangan itu.”

Contoh lain, nukilan novel Pasar (1995) Kuntowijoyo ini:

”Wah, sekarang lain,” tegur penjual nasi gulai.

Paijo mengamati bajunya. ”Apa yang lain?”

”Bajunya baru. Dan tak mau jajan lagi.”

Ya. Paijo pernah bertengkar dengan penjual itu. Mereka mau rujuk kembali nampaknya.

”Wah, punya pasar luas, tetapi tak ada uang,” katanya.

”Karcis sudah lama tak ditarik?”

”Habis!”

”Salahmu sendiri? Malas!”

”Sekarang mana uang karcis!”

Paijo main-main saja, tetapi penjual nasi itu mengeluarkan uang. Paijo menerima uang itu. Dan buru-buru pergi ke kantor pasar.

Masih ada contoh lain efek ”kuasa-uang” dalam kesusastraan Indonesia, sebut saja novel Belenggu (1940) Armijn Pane dan novel Ronggeng Dukuh Paruk (1982) Ahmad Tohari. Keduanya ikut merefleksikan manusia modern yang terkena efek ”kuasa-uang” melalui tokoh Yah yang menjadi perempuan panggilan dalam Belenggu dan tokoh Srintil yang menjadi ronggeng dalam Ronggeng Dukuh Paruk.

Resepsi

Gundah gulana Bandung Mawardi dalam tulisannya di koran ini, ”Uang, Modernitas, dan Tafsir Sastra” (Minggu, 7 Maret 2010) merangsang pemaparan-pemaparan saya di atas. Ia menilai penting tema uang dalam kesusastraan.

Harapan Bandung: ”Kesanggupan untuk menggarap tema ini mungkin membuka wacana kompleks kesadaran atas fakta-fakta dalam garapan sastra” dan ”penggarapan sastra dengan tema uang tentu bisa jadi dokumen untuk membaca resepsi dan perilaku orang Indonesia terhadap uang sebagai pamrih untuk hidup atau menjadi modern”.

Rada prihatin pula Bandung menuliskan: ”Eksplorasi terhadap tema uang justru masih jarang dilakukan oleh empu-empu sastra Indonesia” dan ia mencontohkan novel-novel non-Indonesia bertema uang seperti The House of Mirth (1905) Edith Wharton dan The Great Gatsby karya F Scott Fitzgerald.

”Kuasa-uang” tak bisa dielak meski filsuf dan ilmuwan mewanti-wanti dan mengkritik habis-habisan. Di zaman ini, tanpa uang potensial menerima risiko isi pepatah ini: ada uang abang disayang, tak ada uang abang melayang.

Maka ”moralitas uang” menjadi penting. Keserakahan modernitas menjadikan uang sebagai senjata dan tujuan. Ini berarti kesusastraan yang merefleksikan moralitas uang merupakan kritik telak ke jantung modernitas.

Tak mempankah money politics, money laundering, korupsi, dan suap diteriaki oleh media massa, pamflet, jargon, slogan, poster, dan aksi massa? Belum kuatkah suara ilmu dan filsafat mendengungkan ancaman ”kuasa-uang” bagi kemanusiaan modern sehingga kesusastraan mesti turun tangan? Ilmu dan filsafat menyalakan ”kesadaran pikiran” dalam mengungkai perkara dan kesusastraan punya cara sendiri untuk menggaungkannya, misal lewat strategi literer yang menyentuh ”kesadaran batin”.

Ihwal ”kuasa-uang”, pada 1842 terbit cerpen panjang Nikolai Gogol, Shinel. Alkisah, Akaki Akakiewitsch pegawai kecil yang miskin. Ia kerap dihina karena mantelnya rombeng. Ia tak bisa segera membeli mantel baru. Setelah lama menabung, ia bisa membeli mantel baru tetapi dirampas bandit jalanan saat musim dingin. Aparat malas mengurus kasusnya. Ia mati terserang demam sebab kedinginan. Hantu Akakiewitsch gentayangan merampasi mantel (shinel) para pegawai dan siapa saja.

Shinel memendarkan kompleksitas dan absurditas efek ”kuasa-uang” dengan mengaduk rasionalitas dan irasionalitas. Akakiewitsch berjuang menabung receh demi receh untuk sehelai mantel yang lantas dirampas bandit dan setelah mati ia membalas dendam.

Apakah Gogol menakuti modernitas atau meneror ”kuasa uang” lewat hantu Akakiewitsch? Ia mahir mendeskripsikan efek ”kuasa-uang” melalui dialog, pengisahan, dan penokohan. Tanpa propaganda. Ia bercerita secara bagus dan mencerminkan pemahaman mendalam pada manusia modern dan masalah hidupnya.

Gogol tak memperalat Akakiewitsch. Akakiewitsch adalah contoh korban modernitas yang menjadikan uang sebagai ukuran dan tujuan tertinggi sehingga mengikis nilai kemanusiaan. Banyak ”Akakiewitsch lain” atau hantu-hantunya yang mengantre disastrakan, bukan?

Binhad Nurrohmat Penyair dan Sivitas Akademika Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.





http://pembebasan-sastra.blogspot.com/2010/09/mata-sastra-tak-melirik-mata-uang.html

Puisi Puisi Syaiful Bahri

Sepotong Lagu Kecil
Ini kali lelaki itu mengajakmu pergi
Keliling kota paling plaza ini
Jalan raya penuh lampu merkuri
Dan taman taman kota
Alun alun kota
Lelaki itu mencintaimu
Seperti aku
Aku tidak marah
Dan sekali waktu
Kau memang pergi
Bersamanya
Aku tidak cemburu
Tahu aku
Meski tubuhmu pergi
Hatimu tetap di sini
Di hatiku.
2010
Sajak Ini Mestinya Ditulis Ayah
/1/
Aku tak peduli
Walau nanti kau tak kembali
Membawa anakanak
Kau singkap mereka bersama bendabenda
Di koper itu
Tapi tolong jangan kau ambil
Wangi parfummu yang menempel di kemejaku
/2/
Aku tak akan menjadi pohon
Yang akarnya menancap di rumah
Diam dan menanti kau datang, dengan ramah
Aku jadi daun saja
Bila ada angin melepaskanku dari dahan
Aku dapat terbang ke gedung malam
Dan pergi ke kampung yang kita kira surga
Saat malam pertama, bersamanya
Tetapi rupanya tak ada angin
Sebadai dirimu yang sanggup menghempaskan
Aku ke langit yang sama
/3/
Sudah dua tahun kau pergi
Aku senang sebab ranjang ini terasa lengang
Dan kakinya tak lagi berisik
Sebab sintal tubuhmu tak lagi mengganggu tidurku
Yang mengharuskan aku bekerja penuh semalam
Dan di kamar ini, Kamar dimana
Kita saling meminjam tubuh
Sedang turun salju, dingin sekali
2009
Selalu Begitu
membaca puisi aku yang dulu
betapa rumitnya, seperti Cinta ku padamu
sementara kata sejatinya sederhana
ku buka halaman buku puisi itu
ungkapan Cinta tenggelam di puncak kata yang jauh
selalu begitu
aku mengenangmu lewat puisi-puisi itu
lewat Cinta yang belum kau tahu
kenapa aku baru sadar di saat kau tak ada
di saat aku tahu bagaimana menulis puisi Cinta
tapi, ah, aku tulis saja puisi ini
sebagai ungkapan Cinta yang sia-sia
selalu, selalu begitu
puisi tak pernah bisa
Dan aku tetap saja menulisnya
selalu, selalu begitu
puisi tak pernah bisa
Dan ada saja yang tetap membacanya


Harum Telaga Warna


TAK diketahuinya, telah berapa lama Sukmo kabur dari kota tempat tinggalnya. Lelaki muda itu merasa sudah waktunya meninggalkan telaga warna dan goa persembunyiannya. Alangkah lega bila terbebas dari kesunyian hutan pinus, lembab gua, semerbak bunga-bunga liar, dan suara burung hantu di tengah malam berkabut. Ia sempat bimbang, bila kembali ke kota, masih setiakah istri dan anaknya di rumah mereka?
Terakhir Sukmo melihat Ratri, istrinya, sehari setelah pelariannya dari kota, menempati gua tak jauh dari telaga warna. Rembang petang, istrinya hamil tua, diseret paksa tiga lelaki bersenapan. Ia mendekam dalam persembunyian, menggigil, sehabis hujan. Menyaksikan penyiksaan terhadap istrinya. Kalong-kalong berseliweran, menghambur dari dahan-dahan pohon, terbang rendah, dengan bentangan sayap yang menimbulkan suara gesekan angin.
Dalam keheningan kabut, Sukmo mendengar bentakan kasar seorang lelaki bersenapan, “Di mana suamimu sembunyi?”
“Ia bilang, tinggal di sini!” sambut Ratri, “Ia mau hidup menyepi di telaga ini!”
“Jangan harap ia bisa lari! Dia mesti selesaikan perkara penggelapan uang di perusahaan!” seru lelaki bersenapan yang lain. Ia berteriak lantang. Menyerukan agar Sukmo keluar dari persembunyiannya. Yang menghambur dari persembunyian malah kalong-kalong. Terbang rendah di atas telaga warna. Sukmo menahan diri. Gelap petang hari, dalam gua persembunyian, samar-samar ia melihat perlakuan tiga lelaki bersenapan terhadap istrinya yang hamil tua: mendorong, memaki-maki.
Sukmo merasa tak tahan menyaksikan perlakuan kasar pada istrinya. Dalam perut istrinya yang membuncit terkandung bayi, tinggal menunggu saat kelahiran. Tertikam kebimbangan, Sukmo terpaksa menahan diri, ingin meninggalkan persembunyiannya dalam gua. Tak dipikirkannya lagi keselamatan diri, biar ditangkap atau dipenjarakan. Mungkin ini akan lebih baik bagi keselamatan istri dan bayi dalam kandungannya. Tapi ia tak berani beranjak dari rongga gelap dan lembab berlumut gua hingga kabut menutup permukaan telaga warna. Dari kepekatan sunyi rimba, suara burung hantu terdengar paling nyaring di antara irama serangga. Ia selalu disertai burung hantu, ke mana pun pergi.

MASIH remang pagi berkabut, Sukmo beranjak pelan-pelan dari mulut gua. Turun ke telaga warna. Ia membasuh muka. Dingin. Di atas permukaan air telaga warna, ia memandang bayangan wajah lain: lelaki tua berjenggot. Ia melihat sosok wajah yang bukan wajahnya. Dari bayangan air telaga itu, ia paham, ini wajah lelaki lain, yang sungguh tak disangkanya, menghuni dataran tinggi di lereng pegunungan yang hampir-hampir tak terjangkau manusia.
Sukmo menoleh. Ia terkesiap. Berjongkok di sisinya seorang lelaki tua, berewok, dengan sepasang mata jernih, tengah membasuh wajah di telaga warna. Ia tak menduga, seorang lelaki tua berdiri penuh perhatian. Ia ingin lari, meninggalkan telaga warna, dan kembali memasuki persembunyiannya di gua. Tapi senyum lelaki tua itu alangkah teduh. Senyum tanpa prasangka. Bahkan si tua mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.
Tergetar tubuh Sukmo menyambut uluran tangan lelaki tua. Ia tak yakin akan bersua manusia di dataran tinggi ini. Untuk mencapainya, ia mesti menyusuri jalan setapak selama beberapa jam. Menembus hutan pinus, kabut tebal, dan hujan yang sesekali turun tak terduga.
Menyambut uluran tangan lelaki tua itu, Sukmo masih diguncang kebimbangan. Lelaki tua itu meminta, “Datanglah ke rumahku. Kita bisa minum teh bersama,” suaranya penuh kerinduan untuk berbincang-bincang. Sukmo sangsi, tak ingin terperangkap bujukan. Tak mau ia tertangkap tiga lelaki bersenapan, yang berakhir dengan penangkapan, pengadilan, dan penjara. Ia teringat kekasaran yang dilakukan ketiga lelaki bersenapan itu terhadap istrinya. Ia menolak ajakan minum teh lelaki tua . Buru-buru meninggalkan lelaki tua bermata jernih, yang tetap mengembangkan senyum tulus terpendam di bibirnya dalam kesendirian.
Kembali Sukmo ke dalam gua. Memandangi gerak-gerik lelaki tua di tepi telaga. Lelaki tua itu kini sibuk memasang umpan kail, memancing ikan. Tenang sekali ia duduk di atas pohon yang tumbang, menjorok ke permukaan air telaga. Menanti kehangatan matahari dan getar ikan memangsa umpan kailnya.

MENCECAP hangat secangkir teh, mengunyah ubi rebus, dan mempersiapkan bara untuk membakar ikan hasil pancingannya dari telaga warna, Jiwo —lelaki tua yang mengasingkan diri dari kehidupan kota besar— merasakan keanehan perjumpaannya dengan lelaki muda yang menghindar datang ke rumah. Apakah lelaki muda yang berdiam dalam gua itu juga mencari ketenangan jiwa?
Kini Jiwo mesti kembali merenung, setelah sekian lama meninggalkan kota, istri, dan empat anaknya yang senantiasa berebut menguasai perusahaan yang dibesarkannya. Hanya anak bungsunya, Ragil, yang sering mengirim bahan makanan melalui seorang utusan, menyusuri jalan setapak di hutan pinus, hingga mencapai sebuah rumah kayu —yang dibangun Jiwo beberapa tahun silam, untuk menyepi— di tepi hutan pinus. Jiwo tak pernah lagi berbincang-bincang dengan manusia, kecuali saat dikunjungi utusan Ragil dari kota. Selebihnya, seluruh waktu sisa hidupnya digunakan menikmati kesunyian, kesendirian, dan kebisuan.
Pagi ini Jiwo merasa aneh, ketika bertemu lelaki muda itu di tepi telaga warna. Lelaki muda itu gemetar berjabat tangan. Buru-buru meninggalkan telaga warna. Memasuki gua persembunyiannya. Ada beberapa gua di tepi telaga warna, yang bisa digunakan untuk tinggal, meski gelap dan lembab.
Apa lelaki muda itu seorang pelarian dari kota? Jiwo tak peduli, siapa lelaki muda itu. Ia hanya ingin mengundangnya minum teh, makan ubi rebus, dan berbincang-bincang dalam hangat cahaya matahari, sebelum pada siang nanti mendung bergelantung, dan hujan berkabut turun sepanjang malam hingga pagi.
Jiwo berharap, lelaki muda itu mau meninggalkan persembunyiannya. Telah diperolehnya tiga ekor ikan, dalam waktu cukup lama, masih juga lelaki muda itu bersembunyi dalam gua. Ia ingin mendapat sahabat yang menghangati pagi dengan bincang-bincang, menghabiskan ubi rebus yang dipanen dari kebun samping rumah kayu.

TAK tahan bersembunyi, mendekam dalam gua gelap dan pengab, Sukmo ingin turun ke kota, menengok istrinya —yang menurut hitungannya, tentu sudah melahirkan. Ingin sekali ia melihat bayinya. Ingin menggendongnya. Laki-laki? Atau perempuan? Ini anak pertama. Tentu menggemaskan. Menggetarkan.
Semalam Sukmo dalam kegelisahan. Bayinya telah menggoda seluruh syarafnya, yang menyebabkannya senantiasa nyalang dalam gelap gua. Ia tak sabar menunggu rekah fajar, sirnanya kabut di atas permukaan telaga warna. Masih gelap, kabut masih pekat, Sukmo mencebur ke dalam telaga warna. Dingin. Menggigilkan. Tapi dia ingin melihat rumahnya, ingin melihat bayinya. Aneh. Dia sangat ingin bersua lelaki tua yang suka memancing dengan duduk di atas pohon tumbang. Tiap pagi ia melihat lelaki tua itu, wajahnya sangat tenteram. Wajah yang penuh kedamaian. Tak sedikit pun terbersit rasa sedih dan ketakutan pada perangainya.
Sukmo yang digetarkan rasa takut dan cemas, merasakan kecemburuan: bagaimana mungkin seseorang bisa sedemikian damai dalam kesendiriannya? Kemunculan lelaki tua itu, yang selalu menebar senyum terpendam di bibirnya, setiap pagi duduk di atas pohon tumbang yang menjorok ke permukaan telaga, telah memberinya pengalaman aneh.
Ia ingin berpamitan sebelum turun ke kota. Siapa tahu, ia tertangkap tiga lelaki bersenapan. Ia telah melakukan penggelapan uang perusahaan untuk keperluan pribadi. Ia memilih lari meninggalkan perusahaan, menunggu saat ia bisa kembali ke kota dengan aman.
Tapi Sukmo merasa tak sanggup terus-menerus bersembunyi dalam gua. Ini serupa penjara yang menciptakan ketakutan dalam alam terbuka di tepi telaga warna.

MALAM yang aneh dan menggelisahkan bagi Ratri. Ia seperti mencium aroma tubuh Sukmo, suaminya, di sekitar rumah. Ingin ditunjukkannya bayi laki-laki kesayangan mereka. Belum diberi nama. Ia masih menunggu suaminya pulang. Tapi ia tak yakin, apakah suaminya akan berani pulang. Sewaktu dibawa paksa ketiga lelaki bersenapan hingga mencapai tepi telaga warna, diperlakukan kasar, ia yakin, tentu suaminya menyaksikan semua kebrutalan itu dari dalam gua.
Samar-samar Ratri mencium aroma tubuh suaminya, kadang pekat kadang menghilang.
Ia sangat sadar akan kebiasaan suaminya pulang, pelan-pelan mengetuk pintu dan menyelinap masuk ke dalam rumah menjelang dini hari. Saat seperti itu orang-orang tertidur nyenyak. Kini belum lagi memasuki tengah malam. Tapi ia merasakan tanda-tanda kedatangan Sukmo. Dadanya tergetar. Ia cemas. Takut dan penuh harap, bila suaminya benar-benar pulang. Karena itu ia berdiri di depan pintu ruang tamu yang dibentangkan. Menerangi ruang tamu.
Terdengar suara burung hantu yang biasanya menjadi pertanda kepulangan Sukmo. Seseorang seringkali takut mendengar suara burung itu. Ratri malah tergetar dadanya, mendengar suara burung hantu: membangkitkan kembali harapan bertemu Sukmo, dengan penuh rasa cemas. Biasanya tak berlangsung lama pertemuan mereka. Sukmo buru-buru meninggalkan rumah sebelum fajar. Tak pernah diketahuinya kapan lagi akan pulang. Ratri kembali menanti kehadiran Sukmo dalam ketidakpastian. Kadang, tengah malam datang ketukan pintu lelaki kekar bertato, berkacamata hitam, berjaket hitam. Lelaki misterius itu mencari suaminya, lalu buru-buru pergi.
Kini Ratri tak yakin bila Sukmo berani menyelinap dalam rumah. Lelaki itu, mungkin, pikir Ratri, hanya ingin melihat bayi mereka. Suara burung hantu kembali meniti kelam dari pohon asam tepi jalan. Ia mendekat ke arah pintu depan, membawa bayi lelakinya, mengayun-ayunkannya, dan bercanda dengannya. Lagi-lagi suara burung hantu menembus kelam. Ratri, yang dilahirkan tengah malam, sangat peka suara-suara burung malam. Ia bisa merasakan kehadiran Sukmo. Memang tak terlihat. Terlindung gelap malam dan pepohonan asam tepi jalan. Ia yakin, lelaki itu tak jauh dari rumah.
Terkesiap Ratri, ketika sebuah taksi berhenti di tepi jalan raya. Ratri tak perlu lagi menduga, siapa yang datang: salah seorang dari ketiga lelaki bersenapan yang menyiksanya di tepi telaga warna. Dialah lelaki yang tertua di antara mereka bertiga, lelaki yang paling bernafsu menangkap Sukmo.
Seketika pucat wajah Ratri. Gugup. Tersipu-sipu. Ia mesti bersikap ramah pada lelaki setengah baya, dengan pistol menggantung di pinggangnya. Ia menutup pintu ruang tamu. Mematikan lampu. Menahan kenyerian liang luka dalam dada.

DUDUK di atas batang pohon yang tumbang menjorok ke permukaan air telaga warna, merasakan hangat cahaya matahari, menahan geram, Sukmo menanti Jiwo. Sukmo ingin menatap lelaki tua yang berwajah tenteram, dengan bibir senantiasa memendam senyum. Ingin sekali Sukmo memandangi wajah itu, agar tenteram perasaannya.
Tercium aroma harum di atas permukaan telaga warna menyentak kesadaran Sukmo. Ia bangkit, menelusuri asal aroma harum. Bukan dari permukaan telaga warna. Kadang aroma harum itu tercium pekat. Kadang samar. Menyusuri jalan setapak, langkah Sukmo seperti dituntun ke suatu tempat. Tibalah ia di pelataran rumah Jiwo, mendekati ambang pintu rumah kayu yang terbentang. Ia masuk pelan-pelan. Aroma harum itu lenyap.
Di balai-balai, lelaki tua yang dirindukan Sukmo terbaring. Bersedekap. Tenang. Mata terpejam. Langkah Sukmo terhenti di sisinya. Tak menyapa. Lelaki tua itu masih tersenyum, dengan mata terpejam, serupa orang tertidur.
MENGENANG Jiwo, lelaki tua yang telah dimakamkan di belakang rumah kayu, Sukmo mengail ikan, duduk di atas pohon tumbang. Ia masih teringat wajah bening lelaki tua yang tak menaruh dendam. Ia ingin menjinakkan amarah dalam dada, raungan-raungan dahsyat, yang meronta-ronta dalam jiwanya: keinginan melawan lelaki setengah baya berpistol yang menyusup ke dalam rumahnya. Tiap tengah malam ia digelisahkan suara burung hantu.
Menikmati teh, mengunyah ubi rebus yang dipanen dari ladang samping rumah kayu, makan dengan ikan bakar, Sukmo ingin sekali melacak kehidupan sehari-hari lelaki tua di tepi telaga warna. Telah beberapa hari ini ia tinggal di rumah kayu yang tak lagi dihuni. Bila keinginan pulang menengok anak tak lagi bisa ditahannya, ia pergi memancing, menanti aroma harum mengambang di atas permukaan telaga warna, yang berasal dari makam lelaki tua itu.